Selasa, 30 April 2013

TANPA JEJAK

Rasa lapar menyerang. Ternyata waktu menunjukkan pukul 20.30. Sedikit terlambat, karena biasanya di saat jam-jam tersebut saya sudah tidak merasakan perut yang keroncongan. Namun, karena sorenya terlalu banyak makan cemilan gorengan akhirnya rasa lapar di malam hari tertunda.

Tidak seperti biasanya juga, beras untuk makan malam ini belum dimasak mungkin karena malas menyerang. Akhirnya diputuskan untuk membeli saja di warung nasi. Ku hentakkan pedal "Azzam", sepeda motor kesayanganku dan segera melaju ke warung nasi yang biasa saya kunjungi.

Sampai di tempat yang dituju, tampak ada yang berbeda dari biasanya. Kenapa saya katakan berbeda dari biasanya? karena hampir setiap hari, siang dan malam aku membeli di tempat ini. Namun, karena untuk mengurangi beban cost yang terlalu besar saya putuskan untuk memasak saja di rumah.

Saya tidak melihat Bapak (Pak etek biasa saya memanggilnya) yang biasa melayani para pelanggan setianya, tidak terlihat lagi seorang Ibu (Saya memanggilnya Bunda), tidak terlihat lagi pekerjanya yang selalu menyambut saya, satu lagi, saya tidak lagi melihat tulisan Serba 6000 yang terpampang di steling kaca pemajang makanan.

Rasa bertanya-tanya muncul di dalam hati, memperhatikan perbedaan yang ada di sekiliing warung, melihat para pramusaji yang lain dari biasanya. Setelah memesan makanan dan sambil memberikan secarik uang sesuai harga makanan yang kubeli. Untuk menghilangkan rasa penasaranku, kuberanikan diri untuk bertanya kepada kasir.

+ Pemiliknya ganti ya mbak?
- Iya
+ Sudah lama?
- Sekitar 1 bulan
+ Jadi ini dijual atau disewakan sementara?
- Di jual
+ Pemilik yang lama kemana?
- Kurang tau bang...

Ya.. Saya merasa kehilangan. Tanpa jejak yang berarti. Pikiran terus digelayutin pertanyaan-pertanyaan. Kemana Pak Etek? Kemana Bunda? Kemana Ara? (Ara adalah gadis kecil yang setiap saya ke warung selalu menjahili). Begitu kehilangannya saya adalah bukan karena rasa masakannya yang begitu pas dilidah saya, bukan juga karena saya bisa makan tanpa perlu membayar dahulu jika tidak memiliki uang, tapi karena rasa kekeluargaan yang terbangun selama ini.

Mereka keluarga kecil yang begitu bersahaja, sederhana, dan terlalu baik kepada saya. Kesamaan darah Minang yang mengalir di darah kami semakin menguatkan rasa kekeluargaan itu. Namun kini, mereka sudah pergi tanpa jejak. Saya hanya dapat berdoa, semoga bisa dipertemukan kembali kepada mereka seraya berdoa semoga Allah memudahkan urusan mereka, mengampuni segala dosanya dan tetap dalam lindungan Allah SWT.

Tinggalkan Jejak...

0 komentar :

Posting Komentar