Seperti tahun-tahun sebelumnya, anak-anak murid akan dibekali dengan sebuah buku catatan yang dipergunakan untuk mencatat amaliah hariannya selama Ramadhan. Dengan berbagai model dan bentuk buku catatan, anak murid diminta untuk belajar jujur terhadap amaliahnya.
Apa urgensinya? selain melatih kejujuran. Si anak akan mengevaluasi setiap amalan yang sudah dilakukannya dan yang tidak dilakukannya. Selain itu, ada kolom catatan tausyiah Ramadhan yang disampaikan ustadz ketika sebelum Tarawih dimulai, dan Sang ustadz pun diminta menandatangani sebagai bukti bahwa si anak sudah mengikuti tausyiah Ramadhan di Masjid/Musholla.
Okelah.. kalimatku terlalu formal membahas sisi positif buku catatan harian ibadah Ramadhan itu. Aku.. Sebagai seorang mantan murid merasa geli dan cukup menyayangkan pola pencatatan seperti itu. Pengalamanku ini mungkin cukup bisa menggambarkan sebagian besar murid menyikapi tugas amaliah yang harus dicatat itu.
Kita harus mengakui tujuan positif selalu baik, akan tetapi prosesnya menjadi tidak baik karena pola yang tidak tepat ini. Hal pertama, dalam mencatat ibadah sholat 5 waktu. Si murid akan mencentang/ceklis kolom. Namun yang terjadi adalah terkadang murid mengisinya walaupun dia sendiri tidak melakukan sholat. Ini juga bisa terjadi dengan ibadah-ibadah yang lain yang harus di centang jika sudah dilakukan.
Hal kedua, mencatat rangkuman tausyiah Ramadhan. Yang terjadi adalah si murid meminta tanda tangan ustadz padahal catatannya masih kosong, yang setelah ditandatangani dia mencontek punya temannya untuk dicatat. Jadilah catatan harian tausyiah yang seragam bahkan sampai titik komanya. Padahal daya nalar seseorang dalam menyerap bisa berbeda-beda.
Apa urgensinya? selain melatih kejujuran. Si anak akan mengevaluasi setiap amalan yang sudah dilakukannya dan yang tidak dilakukannya. Selain itu, ada kolom catatan tausyiah Ramadhan yang disampaikan ustadz ketika sebelum Tarawih dimulai, dan Sang ustadz pun diminta menandatangani sebagai bukti bahwa si anak sudah mengikuti tausyiah Ramadhan di Masjid/Musholla.
Okelah.. kalimatku terlalu formal membahas sisi positif buku catatan harian ibadah Ramadhan itu. Aku.. Sebagai seorang mantan murid merasa geli dan cukup menyayangkan pola pencatatan seperti itu. Pengalamanku ini mungkin cukup bisa menggambarkan sebagian besar murid menyikapi tugas amaliah yang harus dicatat itu.
Kita harus mengakui tujuan positif selalu baik, akan tetapi prosesnya menjadi tidak baik karena pola yang tidak tepat ini. Hal pertama, dalam mencatat ibadah sholat 5 waktu. Si murid akan mencentang/ceklis kolom. Namun yang terjadi adalah terkadang murid mengisinya walaupun dia sendiri tidak melakukan sholat. Ini juga bisa terjadi dengan ibadah-ibadah yang lain yang harus di centang jika sudah dilakukan.
Hal kedua, mencatat rangkuman tausyiah Ramadhan. Yang terjadi adalah si murid meminta tanda tangan ustadz padahal catatannya masih kosong, yang setelah ditandatangani dia mencontek punya temannya untuk dicatat. Jadilah catatan harian tausyiah yang seragam bahkan sampai titik komanya. Padahal daya nalar seseorang dalam menyerap bisa berbeda-beda.
Disinilah kita harus memerlukan peran orang tua dalam mengawasi anaknya dalam mencatat. Peran orang tua harus lebih. Karena pendidikan utama adalah keluarga. Jadi, kalau anaknya mencatat dengan ketidak jujuran mungkin begitulah orang tuanya dulu hingga kini.
Ah capek aku mikirnya.. elok tidur... Semoga anakku kelak tidak begitu.. Dia hanya melakukan kejujuran dan percaya malaikat pencatat sajalah yang akan mencatat amaliahnya... Aamiin..
Wallahu a'lam bishowaf...
Ah capek aku mikirnya.. elok tidur... Semoga anakku kelak tidak begitu.. Dia hanya melakukan kejujuran dan percaya malaikat pencatat sajalah yang akan mencatat amaliahnya... Aamiin..
Wallahu a'lam bishowaf...
0 komentar :
Posting Komentar