Zulfahmi Abdillah

Urang Minang yang Lahir di Tanah Batak

I Won't Give Up

Indak ado kato manyarah sabalun mancubo. Darah Minang itu Padeh!

With Azzam

Bersama Melewati Hari Penuh Makna

Belajar Bersama Alam

Belajarlah.. Pada masanya Alam akan mewisuda dirimu...

Menjaring Matahari

Ringan Bukan Berarti Mudah. Berat Bukan Berarti Sulit.

Rabu, 30 April 2014

Cerita Soal Visi

Hari ini mendapat buku yang cukup menginspirasi, terkadang usil menyentil, dan syarat nasehat. Isinya tidak terlalu tebal namun cukup mengusik pikiran saya yang selama ini terlena akan visi hidup.

Buku yang berisikan catatan seorang CEO perusahaan konveksi mengenai cerita perjalanannya bersama perusahaan yang begitu mempercayakannnya untuk ditangani anak yang baru berusia 25 tahun. 

Itu sentilan pertama, anak yang berusia 25 tahun sudah jadi CEO perusahaan konveksi yang kini branding sangat terkenal di negeri ini. Padahal beliau dengan saya itu ada persamaan, sama-sama mengakhiri kuliah lebih cepat dari waktu seharusnya.

Mengapa itu didapatnya? Tidak mudah ternyata. Begitu banyak proses yang harus dilalui. Dalam catatannya, si CEO tadi hanya menuliskan impian-impiannya dan membangun trust dengan orang lain walaupun itu adalah orang yang baru pertama kali ditemui.

Ini sentilan kedua, saya yang terkadang langsung menaruh curiga dan penuh awas terhadap orang baru. Padahal kalau kita berbaik sangka saja, orang tersebut akan mudah nyaman jika berada di sekitar kita. Bukankah pada dasarnya setiap orang itu baik? itu katanya.

Ciptakan visi dalam setiap aktifitas. Inilah kalimat yang cukup meresap ke dalam sanubari (halah.. ngomong opo..). Coba kalau kita menghadirkan visi dalam setiap aktifitas maka kita akan menentukan cara untuk mengenggamnya. Ketika mau makan, kenapa harus makan? Jika kita menjawab supaya kenyang, maka kita akan makan sebanyak-banyaknya tanpa memperhatikan lauknya. Jika menjawab agar nikmat, maka kita akan menentukan makanan enak apa yang akan kita makan.

Bah! Iya juga. Ini sentilan ketiga. Kita terkadang terlalu asik dengan diri sendiri tanpa memikirkan hal baru apa yang ingin kita peroleh di lain hari. Kita terlena dengan kenyamanan yang didapat tanpa menghadirkan zona tantangan untuk menggapai hal yang baru.

Soal hasil? Itu adalah proses. Sekali, dua kali atau berkali-kali gagal adalah hal biasa dalam menggapai visi. Hilangkan kekhawatiran kegagalan yang akan menghampiri. Karena apa? Karena saat terjatuh ingatlah bahwa kita pernah berdiri.

*Ditulis dalam keadaan terkena sentil

Senin, 21 April 2014

Organisasi Dan Sepakbola

Sepakbola adalah salah satu bentuk organisasi sederhana. Ketika seorang teman menanyakan bagaimana cara kita memahamkan kepada orang lain tentang organisasi.

Organisasi sering dipahami sebagai bentuk wadah beberapa orang yang memiliki tujuan yang sama dan berusaha mencapai tujuan tersebut secara bersama-sama.

Inilah mengapa pentingnya organisasi dalam kehidupan. Baik di rumah, di masyarakat, dimanapun kita berada adalah bentuk organisasi.

Dalam skema sebuah tim sepak bola, ada pembagian kerja di antara sesama pemain. Tidak semua pemain jadi penyerang, kalau semua pemain jadi penyerang siapa yang jadi pemain bertahan. Pelatih akan menempatkan beberapa pemain sesuai dengan kemampuannya masing-masing sesuai dengan porsinya. (bersambung)

Mitos Hari Kartini?

Setiap tanggal 21 April, kita bangsa Indonesia terbiasa memperingati Hari Kartini sebagai pahlawan, yang katanya memperjuangkan aspirasi kaum perempuan Indonesia selain itu beliau juga dikenal sebagai tokoh emansipasi perempuan.

Benarkah demikian? Apakah anda mengetahui siapa Kartini yang hidup pada 1 abad silam itu.
Terus terang selama ini saya selalu bertanya-tanya dalam hati kecil tentang siapa itu ibu kita RA. Kartini sehingga kita rutin memperingati hari kelahirannya, apakah dia seorang wanita pemberani yang selalu melawan ketidakadilan pada dirinya, suku, agama atau bangsanya, ataukah dia seorang sosok kharismatik dan pintar yang mengharumkan nama Indonesia di dunia?. Inilah sedikit tanda Tanya yang membebani pikiran saya.

Terlahir dengan nama Raden Ajeng Kartini, putri ke-5 dari 11 saudara dari Raden Mas A.A R.M Sostroningrat dan M.A Ngasirah merupakan keturunan jawa tulen dari kabupaten Jepara. Kartini kecil memang dikenal sebagai anak yang pintar dan rajin. Pada umur yang relatif muda, Kartini telah mahir bercakap dalam bahasa Belanda, itulah sebabnya banyak tulisan-tulisan beliau yang berbahasa Belanda.
Namun menginjak pada umur 20 tahun, Kartini mulai dipingit dan tidak lama setelah itu dia dinikahkan oleh orang tuanya dengan Raden Adipati Joyodiningrat, seorang Bupati di Rembang yang berpoligami, padahal pada waktu itu sebenarnya Kartini mendapatkan kesempatan belajar di Betawi.

Pemikiran-pemikiran Kartini banyak tertuang dalam bukunya yang berjudul Door Deirternis tot Licht yang berarti habis gelap terbitlah terang, inilah buku yang melatarbelakangi pemberian gelar pahlawan kepada seorang Kartini sesuai dengan keputusan presiden Indonesia No. 108 tahun 1964 pada tanggal 2 Mei 1964.
Ada beberapa alasan mengapa Eka Nada Shofa Alhajar seorang mahasiswa S2 di salah satu Universitas di kota Solo ini mencantumkan nama R.A Kartini sebagai salah seorang pahlawan yang perlu dipertanyakan gelar kepahlawanannya didalam bukunya yang berjudul Pahlawan-pahlawan yang digugat.

Pertama; apabila seorang Kartini yang berjuang di balik tembok kamar saja mendapatkan gelar pahlawan nasional dan hari kelahirannya selalu kita peringati, nampaknya hal ini harus kembali kita pertanyakan kembali, untuk menolong dirinya (R.A Kartini) saja tidak bisa, bagaimana dia layak disebut pahlawan yang memperjuangkan nasib banyak orang,

Kedua; perjuangan Kartini seakan jauh dari kata konsisten, itu dikarenakan Kartini menerima begitu saja pinangan Adipati Rembang yang waktu itu sudah beristri 3, padahal dalam banyak tulisannya, jelas-jelas beliau mempertanyakan tradisi kolot tersebut. Dgn kata lain pengidola kartini menyetujui poligami.
Ketiga; pemikiran-pemikiran Kartini hanya bersifat regional Jawa saja, artinya dia tidak pernah sesekali menyinggung keberadaan perempuan pada suku atau bangsa lainnya.

Keempat; apabila kriteria dari pemberian gelar pahlawan nasional diberikan kepada seseorang yang hanya menyampaikan gagasan pemikirannya dari balik tembok kamar saja, tentunya Dewi Sartika lebih pantas di pakai nama dan hari kelahirannya sebagai hari perempuan Indonesia.

Mungkin itulah beberapa alasan yang ingin saya ungkapkan dari ketidaksetujuan saya dari adanya hari Kartini. Saya kira pemberian bahkan penetapan tanggal 21 April sebagai Hari Kartini terlalu berlebihan, karena masih banyak pahlawan perempuan Indonesia yang layak diberikan penghargaan sebagai tokoh emansipasi wanita Indonesia. Tulisan ini tidak bersifat menggurui atau melecehkan perjuangan seorang Kartini melainkan hanya sebuah ungkapan dari kebisingan polemik gelar pahlawan di Indonesia.

Gelar pahlawan seakan telah menjadi komoditas politik yang sering digunakan untuk memaknai dan memberikan penghargaan kepada para pendahulu sebuah partai politik ataupun lainnya tanpa diketahui perjuangan dan jasanya bagi negara dan bangsa.

Rabu, 16 April 2014

Seharusnya Tidak Seperti Itu...


Mohon maaf sebelumnya, saya harus menuliskan ini karena kegelisahan-kegelisahan pribadi. Terutama, ketika melihat postingan aktivis, kader, atau simpatisasn PKS di jejaring sosial yang agaknya terlalu menjunjung tinggi PKS. Saya paham, sebagai kader atau simpatisan, upaya untuk bangga dan membagus-baguskan PKS adalah hal yang wajar, sah-sah saja, tapi akan menjadi berbeda ketika dibalik upaya untuk membanggakan itu, ada suatu bentuk ‘menjatuhkan’ tokoh lain. terutama Jokowi dan PDIP yang akhir-akhir ini diserang habis-habisan oleh PKS atau kader, atau simpatisannya.

Pertama, Pada Bulan Januari dan Februari yang lalu, ketika Jakarta Banjir besar, di media-media online seperti bersamadakwah.com, PKS Piyungan, dll. Ada upaya agitatif dengan membuat opini jika “Jokowi gagal mengatasi banjir Jakarta”. Awalnya, saya mengira biasa-biasa saja, yang namnya kritik ya wajar-wajar saja. Tapi jadi tidak wajar ketika kemudian dimunculkan sosok Aher (Ahmad Heriyawan) sebagai “penolong” Jokowi.

Secara pribadi, sebagai bangsa Indonesia, kita tentu sangat senang melihat dua pemimpin bersatu dan saling membantu. Tapi akan menjadi berbeda ketika ada upaya mengangkat salah satu tokoh dan menjatuhkan tokoh yang lain. Apalagi, Jokowi belum genap dua tahun memimpin Jakarta, tentu butuh waktu untuk menyelesaikan banjir yang menjadi bencana tahunan itu. sementara Aher, sudah lima tahun memimpin Jabar dan ini adalah periode keduanya.

Kedua, saya sangat menyesalkan kultwit Bang Fahri yang menyerang PDIP terutama ketika Megawati menjadi Presiden. Pertanyaannya, kenapa tiba-tiba bang Fahri melakukan hal itu ketika popularitas PDIP naik? Kenapa tidak dari dulu-dulu saja? Apakah ada upaya menjatuhkan nama baik PDIP agar tidak dipilih dalam pemilu? Entahlah, tapi menurut saya sangat tidak etis mengungkap aib/dosa/kegagalan seseorang sementara periodenya sudah berlalu. Sudah menjadi masa lalu. lalu apa yang diinginkan bang Fahri dengan kultwit itu? ingin Megawati di hukum? Atau di hakimi rakyat agar partainya tak dipilih? Entahlah. Saya semakin susah membedakan mana Partai Islam dan mana yang tidak. sama saja. Sama-sama saling serang menyerang, jatuh menjatuhkan.

Setelah itu, kemudian muncul kultwit baru yang menyerang PKS. Konon itu dari kader PDIP, jika sudah demikian. Maka semakin komplit lah. Antara satu partai dengan partai yang lain saling serang. Duh, sebagai warga biasa. Saya harus berbuat apa? Kalau setiap hari kita disuguhi oleh hal-hal yang tidak penting seperti itu.

Harusnya semua saling legowo. Tidak usah saling jatuh menjatuhkan. Kerja saja yang baik, maka rakyat pasti akan menilai mana partai yang tulus dan mana partai yang ingin tercitrakan baik. kebaikan tidak perlu dicitrakan, karena kebaikan memiliki nilai tinggi di Mata Allah Swt, bukankah Allah maha melihat dan maha segalanya? jika toh partainya di serang habis-habisan, di jatuhkan habis-habisan, tapi kalau Allah berkehendak dia menang pemilu. Ya siapa yang bisa melawan? Kun fayakun.

Ketiga, tentang Partai terkorup. Ada banyak postingan di media tentang rekapitulasi kasus korupsi. Disana disebutkan, PDIP berada di posisi teratas dan PKS berada di posisi terbawah. Hanya saja, kasus korupsi PKS sangat bombastis karena menimpa Presiden PKS. Dalam hati saya bersyukur karena PKS –tergolong partai kanan/Islam—memiliki kasus korupsi terendah. Kalau PDIP menjadi partai dengan rekapitulasi korupsi tertinggi, hal itu masih bisa dimaklumi karena selaku partai besar, dengan kursi yang banyak, kader yang banyak dan spirit nasionalis kiri sebagai pijakannya. Mungkin saja.

Hanya saja, banyak para simpatisan dan (mungkin) kader PKS yang terlalu membanggakan hasil rekapitulasi tersebut. Alhamdulilah, kita patut bersyukur. Meskipun kasus korupsi kuota impor daging sapi itu membekas kuat di benak masyarakat. dan saya sangat menyayangkan, ketika ada upaya menyerang PDIP kembali. Akhirnya data partai terkorup tersebut di sebarluaskan dengan meninggikan PKS dan menjatuhkan PDIP? Kenapa? Tidak perlu begitu lah, biar rakyat yang menilai.

Saya sempat berdiskusi dengan teman saya yang simpatisan PKS itu dan bilang “Alhamdulilah, kita syukuri saja karena PKS masih lumayan bersih dibanding yang lain, tapi juga jangan menjatuhkan partai lain begitu.” Dan dia menjawab “Ini harus di sharingkan ke masyarakat luas, biar mereka tahu mana partai yang baik dan mana partai yang korup. Ini menunjukkan jika PKS adalah partai paling baik.”

Saya terdiam mendengar penjelasan tersebut. Ada upaya agar dirinya terlihat lebih baik dari yang lain, dan ini adalah hal yang fatal menurut saya. Lalu saya menjawab “Tidak perlu, rakyat pasti bisa menilai kok. Lagipula, dengan menyebarkan data partai terkorup, apalagi dengan merendahkan/menjatuhkan partai lain itu justru akan menjadi boomerang. Biar saja itu mengalir, biar saja pihak ketiga yang memberitakan. Ente pihak pertama, yaitu sebagai simpatisan PKS. Dan itu beresiko.” Tapi dia tak menggubris kata-kata saya.

Maksud saya, kalaupun PKS partai bersih, partai yang paling baik diantara Partai yang lain, biarlah pihak ketiga yang memberitakan. Logika sederhananya, jika saya telah berbuat kebaikan, maka akan sangat lucu jika kemudian saya mengumbar kebaikan itu ke orang-orang “he, saya barusan berbuat baik lho.” Tapi akan berbeda lagi jika yang bilang itu orang lain.

Tanpa PKS (Pengurus/kader/simpatisan) membagus-baguskan partainya sebagai partai paling rendah kasus korupsinya, toh Metro tv, Tv-one, kompas, jawa pos dan lain-lain juga sudah mengabarkan berita itu. media-media itulah yang saya maksud orang ketiga. Itu saja sudah cukup. Kalau kemudian PKS ikut-ikutan membagus-baguskan Partainya, justru itu akan menimbulkan riak-riak di Masyarakat. Bahasa gaulnya membuat rakyat “ilfil”. Kalaupun selama ini PKS sudah bekerja dengan sangat baik untuk kemajuan bangsa, biarlah Allah yang menilai kebaikan itu dan kelak Allah lah yang akan memberikan balasannya. Tidak perlu diunggul-unggulkan, tidak perlu merasa paling bagus, apalagi dengan menjatuhkan rival/lawan politiknya.

Padahal, dahulu saya membayangkan jika di pileg 2014 ini PKS akan menduduki posisi kedua dan berhasil mengusung Pak Hidayat Nur Wahid (politisi yang saya kagumi) itu sebagai capres. Tapi ternyata menurut Quick Count sementara, PKS berada di posisi ke-7. Jangankan untuk capres, cawapres pun berat rasanya. Kenapa bisa demikian? Kenapa suara PKS yang dulu lebih tinggi dari PKB dan PAN kini dibawah mereka? Entahlah.

Saya pun berandai-andai : Andaikan PKS tidak menyebut dirinya Partai paling bersih, andaikan PKS tidak terlalu reaksioner ketika LHI ditangkap, andaikan PKS tak menyerang KPK, PDIP dan Jokowi, andaikan PKS tak menyebut ini-itu konspirasi, adaikan kader/simpatisannya tak fanatik seperti ini, andaikan PKS tak merasa paling baik sendiri. Mungkin… mungkin.. kejadiannya tidak seperti ini.

Sama dengan Partai Demokrat yang “babak belur” karena kadernya di geret KPK. Bahkan jumlahnya tidak hanya satu, nominalnya bahkan jauh lebih fantastis dari dugaan suap LHI. Ditambah internal partai yang goyah, kritik bertubi-tubi pada SBY dan lain-lain. Permasalahan PKS tak se-parah Demokrat. Tapi Partai Demokrat masih memiliki kepercayaan tinggi dari masyarakat dengan menduduki peringkat ke-4. Kenapa? Entahlah.

Saya mengambil satu kesimpulan, dan mungkin juga saran untuk PKS. Bagi pengurus/kader/simpatisan. Saya mohon maaf jika saran saya ini nantinya menyinggung hati. Saya tidak bermaksud demikian. Menurut saya, fanatisme kader/simpatisan PKS yang berlebihan tersebut terlampau over-reaktif. Misalkan saja, ketika media “menyerbu” ramai-ramai Presiden PKS yang diduga terlibat kasus suap daging impor. Ratusan hingga ribuan kader PKS yang di pelopori oleh bang Fahri Hamzah justru menyerbu balik KPK dengan sangat emosional.

Pemberitaan LHI mungkin tidak akan membesar, tidak akan meledak seperti itu andaikan kader/simpatisannya tidak over-reaktif yang menunjukkan fanatisme besarnya ke publik. Ambil contoh saja kasus Andi Malarangeng yang cenderung ‘sepi’ pemberitaan. Dikarenakan kader/simpatisan Partai Demokrat tidak bersifat over-reaktif, bahkan mempersilahkan KPK. Untuk kasus korupsi ini, terlihat betul kedewasaan berpolitik masing-masing elite. SBY sebagai politisi kawakan tentu lebih paham situasi dan bagaimana harus mengambil sikap, kendati Partainya diambang kebangkrutan. Dan buktinya, elaktabilitas Demokrat justru masih diatas PKS.

Yang paling terlihat adalah sikap over-reaktifnya bang Fahri Hamzah. Kenapa bang Fahri cenderung emosional seperti itu? padahal PKS punya tokoh yang cerdas sekaliber Anis Matta, tokoh Ulama yang menyejukkan sekelas Hidayat Nur Wahid, dan juga sosok gaul-modern semisal Pak Tifatul Sembiring. Mohon maaf bang Fahri, bisa jadi suara PKS turun karena sikap panjenengan yang emosional dan over-reaktif, dan itu akhirnya memprovokasi kader/simpatisan di grassroot yang sangat cinta kepada PKS. Sekali lagi mohon maaf, itu hanya pendapat dari saya.

Saya tidak anti-PKS, justru sebaliknya, saya merasa sedih karena pasca-Masyumi, tidak ada lagi Partai Islam yang tangguh dan dipercaya. Harapan itu sempat muncul di Pemilu 2009, dimana PKS berhasil duduk di posisi ke-4. Kala itu, saya sempat optimis jika akan muncul Partai Islam yang kuat, dengan tokoh-tokoh inspiratif dan cerdas, yang memiliki basis massa kuat beserta karakter idiologis yang mencolok. Jujur saja, bagi saya PKS bisa menjadi neo-Ikhwanul Muslimin yang kelak bisa mengajarkan Politik yang lebih damai, integratif dan inklusif. Apalagi dengan indeks prestasi korupsi yang rendah. PKS bisa menjadi kiblat politik Islam di dunia. Pada akhirnya, negara-negara Arab bisa belajar dari Indonesia.

Saya menyarankan agar ada rekonstruksi sikap. Sikap fanatik yang berlebihan harus mulai dibuang, sikap merasa paling unggul dengan merendahkan rival (semisal terhadap Jokowi dan PDIP) juga harus dibuang. Slogan Cinta, Kerja dan Harmoni harus segera digalakkan. Biar saja banyak pihak yang menyerang habis-habisan, toh, ukuran baik buruknya semua kembali kepada Allah yang maha segalanya. Jika PKS yang dalam setiap gerakannya menamakan gerakan Dakwah, namun masih over-reaktif terhadap pemberitaan yang berbau fitnah, itu Paradoks namanya. Jika PKS yang merupakan gerakan Dakwah, namun masih takut citranya jatuh karena pemberitaan negatif media, maka harus segera membuat re-orientasi. Tujuan Dakwah adalah untuk kehidupan Ukhrowi, bukan duniawi. Jika masih takut fitnah, citra jatuh, dan lain-lain, maka itu masih duniawi.

Lima tahun ke depan ini, semoga menjadi pelajaran berharga bagi pengurus/kader/simpatisan PKS. Meskipun banyak yang berharap PKS akan masuk 3 besar dan menjadi Partai Islam yang kuat (meskipun belakangan memilih jalan sebagai Partai Nasionalis-Moderat). Dan di Pemilu 2014 ini, PKS tidak terdepak dari lima besar. Tapi kenyataannya memang berbeda. PKS tengah berjuang untuk bangkit lagi. Harusnya PKS tidak seperti itu. wallohu’alam