Senin, 21 April 2014

Mitos Hari Kartini?

Setiap tanggal 21 April, kita bangsa Indonesia terbiasa memperingati Hari Kartini sebagai pahlawan, yang katanya memperjuangkan aspirasi kaum perempuan Indonesia selain itu beliau juga dikenal sebagai tokoh emansipasi perempuan.

Benarkah demikian? Apakah anda mengetahui siapa Kartini yang hidup pada 1 abad silam itu.
Terus terang selama ini saya selalu bertanya-tanya dalam hati kecil tentang siapa itu ibu kita RA. Kartini sehingga kita rutin memperingati hari kelahirannya, apakah dia seorang wanita pemberani yang selalu melawan ketidakadilan pada dirinya, suku, agama atau bangsanya, ataukah dia seorang sosok kharismatik dan pintar yang mengharumkan nama Indonesia di dunia?. Inilah sedikit tanda Tanya yang membebani pikiran saya.

Terlahir dengan nama Raden Ajeng Kartini, putri ke-5 dari 11 saudara dari Raden Mas A.A R.M Sostroningrat dan M.A Ngasirah merupakan keturunan jawa tulen dari kabupaten Jepara. Kartini kecil memang dikenal sebagai anak yang pintar dan rajin. Pada umur yang relatif muda, Kartini telah mahir bercakap dalam bahasa Belanda, itulah sebabnya banyak tulisan-tulisan beliau yang berbahasa Belanda.
Namun menginjak pada umur 20 tahun, Kartini mulai dipingit dan tidak lama setelah itu dia dinikahkan oleh orang tuanya dengan Raden Adipati Joyodiningrat, seorang Bupati di Rembang yang berpoligami, padahal pada waktu itu sebenarnya Kartini mendapatkan kesempatan belajar di Betawi.

Pemikiran-pemikiran Kartini banyak tertuang dalam bukunya yang berjudul Door Deirternis tot Licht yang berarti habis gelap terbitlah terang, inilah buku yang melatarbelakangi pemberian gelar pahlawan kepada seorang Kartini sesuai dengan keputusan presiden Indonesia No. 108 tahun 1964 pada tanggal 2 Mei 1964.
Ada beberapa alasan mengapa Eka Nada Shofa Alhajar seorang mahasiswa S2 di salah satu Universitas di kota Solo ini mencantumkan nama R.A Kartini sebagai salah seorang pahlawan yang perlu dipertanyakan gelar kepahlawanannya didalam bukunya yang berjudul Pahlawan-pahlawan yang digugat.

Pertama; apabila seorang Kartini yang berjuang di balik tembok kamar saja mendapatkan gelar pahlawan nasional dan hari kelahirannya selalu kita peringati, nampaknya hal ini harus kembali kita pertanyakan kembali, untuk menolong dirinya (R.A Kartini) saja tidak bisa, bagaimana dia layak disebut pahlawan yang memperjuangkan nasib banyak orang,

Kedua; perjuangan Kartini seakan jauh dari kata konsisten, itu dikarenakan Kartini menerima begitu saja pinangan Adipati Rembang yang waktu itu sudah beristri 3, padahal dalam banyak tulisannya, jelas-jelas beliau mempertanyakan tradisi kolot tersebut. Dgn kata lain pengidola kartini menyetujui poligami.
Ketiga; pemikiran-pemikiran Kartini hanya bersifat regional Jawa saja, artinya dia tidak pernah sesekali menyinggung keberadaan perempuan pada suku atau bangsa lainnya.

Keempat; apabila kriteria dari pemberian gelar pahlawan nasional diberikan kepada seseorang yang hanya menyampaikan gagasan pemikirannya dari balik tembok kamar saja, tentunya Dewi Sartika lebih pantas di pakai nama dan hari kelahirannya sebagai hari perempuan Indonesia.

Mungkin itulah beberapa alasan yang ingin saya ungkapkan dari ketidaksetujuan saya dari adanya hari Kartini. Saya kira pemberian bahkan penetapan tanggal 21 April sebagai Hari Kartini terlalu berlebihan, karena masih banyak pahlawan perempuan Indonesia yang layak diberikan penghargaan sebagai tokoh emansipasi wanita Indonesia. Tulisan ini tidak bersifat menggurui atau melecehkan perjuangan seorang Kartini melainkan hanya sebuah ungkapan dari kebisingan polemik gelar pahlawan di Indonesia.

Gelar pahlawan seakan telah menjadi komoditas politik yang sering digunakan untuk memaknai dan memberikan penghargaan kepada para pendahulu sebuah partai politik ataupun lainnya tanpa diketahui perjuangan dan jasanya bagi negara dan bangsa.

0 komentar :

Posting Komentar