Setiap tanggal 21 April, kita bangsa Indonesia terbiasa memperingati
Hari Kartini sebagai pahlawan, yang katanya memperjuangkan aspirasi kaum
perempuan Indonesia selain itu beliau juga dikenal sebagai tokoh
emansipasi perempuan.
Benarkah demikian? Apakah anda mengetahui siapa
Kartini yang hidup pada 1 abad silam itu.
Terus terang selama ini
saya selalu bertanya-tanya dalam hati kecil tentang siapa itu ibu kita
RA. Kartini sehingga kita rutin memperingati hari kelahirannya, apakah
dia seorang wanita pemberani yang selalu melawan ketidakadilan pada
dirinya, suku, agama atau bangsanya, ataukah dia seorang sosok
kharismatik dan pintar yang mengharumkan nama Indonesia di dunia?.
Inilah sedikit tanda Tanya yang membebani pikiran saya.
Terlahir
dengan nama Raden Ajeng Kartini, putri ke-5 dari 11 saudara dari Raden
Mas A.A R.M Sostroningrat dan M.A Ngasirah merupakan keturunan jawa
tulen dari kabupaten Jepara. Kartini kecil memang dikenal sebagai anak
yang pintar dan rajin. Pada umur yang relatif muda, Kartini telah mahir
bercakap dalam bahasa Belanda, itulah sebabnya banyak tulisan-tulisan
beliau yang berbahasa Belanda.
Namun menginjak pada umur 20 tahun,
Kartini mulai dipingit dan tidak lama setelah itu dia dinikahkan oleh
orang tuanya dengan Raden Adipati Joyodiningrat, seorang Bupati di
Rembang yang berpoligami, padahal pada waktu itu sebenarnya Kartini
mendapatkan kesempatan belajar di Betawi.
Pemikiran-pemikiran
Kartini banyak tertuang dalam bukunya yang berjudul Door Deirternis tot
Licht yang berarti habis gelap terbitlah terang, inilah buku yang
melatarbelakangi pemberian gelar pahlawan kepada seorang Kartini sesuai
dengan keputusan presiden Indonesia No. 108 tahun 1964 pada tanggal 2
Mei 1964.
Ada beberapa alasan mengapa Eka Nada Shofa Alhajar seorang
mahasiswa S2 di salah satu Universitas di kota Solo ini mencantumkan
nama R.A Kartini sebagai salah seorang pahlawan yang perlu dipertanyakan
gelar kepahlawanannya didalam bukunya yang berjudul Pahlawan-pahlawan
yang digugat.
Pertama; apabila seorang Kartini yang berjuang di
balik tembok kamar saja mendapatkan gelar pahlawan nasional dan hari
kelahirannya selalu kita peringati, nampaknya hal ini harus kembali kita
pertanyakan kembali, untuk menolong dirinya (R.A Kartini) saja tidak
bisa, bagaimana dia layak disebut pahlawan yang memperjuangkan nasib
banyak orang,
Kedua; perjuangan Kartini seakan jauh dari kata
konsisten, itu dikarenakan Kartini menerima begitu saja pinangan Adipati
Rembang yang waktu itu sudah beristri 3, padahal dalam banyak
tulisannya, jelas-jelas beliau mempertanyakan tradisi kolot tersebut.
Dgn kata lain pengidola kartini menyetujui poligami.
Ketiga;
pemikiran-pemikiran Kartini hanya bersifat regional Jawa saja, artinya
dia tidak pernah sesekali menyinggung keberadaan perempuan pada suku
atau bangsa lainnya.
Keempat; apabila kriteria dari pemberian gelar
pahlawan nasional diberikan kepada seseorang yang hanya menyampaikan
gagasan pemikirannya dari balik tembok kamar saja, tentunya Dewi Sartika
lebih pantas di pakai nama dan hari kelahirannya sebagai hari perempuan
Indonesia.
Mungkin itulah beberapa alasan yang ingin saya ungkapkan
dari ketidaksetujuan saya dari adanya hari Kartini. Saya kira pemberian
bahkan penetapan tanggal 21 April sebagai Hari Kartini terlalu
berlebihan, karena masih banyak pahlawan perempuan Indonesia yang layak
diberikan penghargaan sebagai tokoh emansipasi wanita Indonesia. Tulisan
ini tidak bersifat menggurui atau melecehkan perjuangan seorang Kartini
melainkan hanya sebuah ungkapan dari kebisingan polemik gelar pahlawan
di Indonesia.
Gelar pahlawan seakan telah menjadi komoditas politik
yang sering digunakan untuk memaknai dan memberikan penghargaan kepada
para pendahulu sebuah partai politik ataupun lainnya tanpa diketahui
perjuangan dan jasanya bagi negara dan bangsa.
Senin, 21 April 2014
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
0 komentar :
Posting Komentar