Tuk hadirkan satu hati bersamamu
Sahabat… Mari kita bangun kembali
Segalanya di sini
Datanglah bersama iman di jiwa
Hadirmu semoga membawa cahaya
Di dalam ukhuwah kita
Yang kan kita jalin bersama… Semoga…
“Hey!!! Menyanyi saja kerjanya!.”
Hentakan Fahrul membuatku berhenti menyanyi. “Eh kamu Rul! Dari mana saja kamu? Kenapa tidak pulang tadi malam?”.
“Ah biasa, menjangkau yang tak pasti”. Ucapnya yakin.
Fahrul adalah teman satu kost ku yang super sibuk. Entah apa saja yang dikerjakannya. Sehingga membuatnya lebih sering menginap di tempat temannya.
Pagi itu ba’da sholat shubuh dan membolak-balik buku catatan ku yang sudah mulai usang.
Tanpa
tersadar aku menyanyikan bait lagu al-maydani yang sangat menggambarkan
kerinduanku selama ini dengan seorang teman yang selama ini banyak
membantuku.Hentakan Fahrul membuatku berhenti menyanyi. “Eh kamu Rul! Dari mana saja kamu? Kenapa tidak pulang tadi malam?”.
“Ah biasa, menjangkau yang tak pasti”. Ucapnya yakin.
Fahrul adalah teman satu kost ku yang super sibuk. Entah apa saja yang dikerjakannya. Sehingga membuatnya lebih sering menginap di tempat temannya.
Pagi itu ba’da sholat shubuh dan membolak-balik buku catatan ku yang sudah mulai usang.
Tempatku berkeluh kesah dan canda tawa. Sebagai seorang sahabat aku takkan pernah melupakannya.
Azizah namanya. Mahasiswi semester 5 di sebuah universitas negeri di medan. Perawakannya kecil, berwajah ayu, mungkin karena rajinnya dia beribadah, Murah senyum sehingga membuat banyak lelaki di kampus yang menyukainya. Apalagi dengan lesung pipitnya yang hanya di pipi kanannya.
--o0o--
“Azzam, pulang kuliah kita ke rumahku yuk?” Ajak Zizah kepadaku. “Ada rencana apa nih di rumah?” Ku balik tanya. “Sudah pokoknya kamu ikut aku saja”. Pintanya dengan sedikit memaksa. “Baiklah kalau begitu! Tapi ntar ongkosin aku ya?”
Kalau urusan itu kamu terima beres ajalah”.
Kuliah terakhir pun usai. Kulirik jam di hp menunjukkan pukul 14 lebih 15 menit. Waktu yang menantang aku untuk makan siang. Rasanya telah terjadi unjuk rasa di dalam perutku. “Hmm dimana aku makan siang ini ya?”. Hatiku bergumam. Kurogoh kantongku, hanya ada selembar uang Rp. 10.000. Wah… cukuplah makan dengan lauk ikan ditemani teh manis dingin.
Keluar dari ruangan kuliah Azizah menghampiriku. “Gimana berangkat kita sekarang?”. Aku baru teringat kalau aku sudah janji untuk main ke rumah Zizah sepulang kuliah. “Astaghfirullah… Aku hampir lupa!”.
“Aku tahu pasti kamu belum makan kan? Kamu kan kalau belum makan pasti penyakit lupa selalu muncul”. Ledeknya kepadaku.
“Sudah ayo berangkat!” Ajaknya.
Dalam perjalanan aku masih berfikir ada apa dengan Azizah. Tidak biasanya dia mengajakku ke rumahnya selain untuk diskusi. Tetapi tadi ketika aku Tanya dia merahasiakannya. Oh… acara makan saja mungkin. Terawangan sederhana ini mungkin ada benarnya karena kalau tidak diskusi biasanya diisi dengan acara makan-makan saja.
Bermacam pikiran yang ada dalam benakku. Kulihat Zizah hanya diam. Matanya asyik berlayar melihat segala hal yang kami lalui. Sesekali terlihat melamun. Aku sendiri tidak berani mengajaknya mengobrol. Sudah menjadi kebiasaannya kalau tidak ada hal yang penting dibicarakan, Azizah lebih memilih diam. Mungkin dia sangat memahami dan mengamalkan hadist Nabi “Berkatalah yang baik atau lebih baik diam”.
Akhirnya aku sampai di rumahnya. Perjalanan yang membosankan ditambah udara yang panas membuat peluhku bercucuran. Kulihat tidak ada yang berbeda sejak terakhir kali aku ke rumahnya seminggu yang lalu. Dipersilahkannya aku masuk dan akupun duduk di kursi sofa yang cukup empuk. Adiknya sedang makan seraya Zizah mengajakku makan siang.
Selepas makan, diajaknya aku ke taman di belakang rumahnya. Suasana yang sangat nyaman kupikir. Udaranya yang sejuk. Sengatan matahari terhalang dedaunan pohon yang ditanam dan berdiri dengan kokohnya. Semilir angin sepoi-sepoi menambah ketentraman hati di siang itu.
“Azzam… Ada yang ingin kusampaikan kepadamu. Mungkin hari ini adalah waktu yang tepat bagiku untuk menyampaikan isi hatiku kepadamu”.
Jreng…Jreng… Seperti di film-film saja pikirku.
“Apa gerangan itu sahabatku?” Tanyaku seperti sedang main film.
“Azzam, kamu adalah sahabat yang paling dekat denganku selama ini. Aku sudah mempercayaimu walaupun banyak sisi burukmu yang aku dapati. Tetapi itulah hidup, harus selalu ada warna-warni”.
“Kamu ingat hari ini adalah hari ulang tahunku?” Tanyanya
“Astaghfirullah… hari ini kan tanggal 22 September. Wah sudah 21 tahun umur dirimu sekarang”.
Aku benar-benar lupa kalau sobat karibku berulang tahun hari ini. Aku malu jadinya.
“Tapi itu tidak penting Azzam. Ada hal yang lebih penting dari sebatas ulang tahun”.
Hatiku semakin berdebar akan kelanjutan omongannya. Wajahnya yang serius membuatku semakin bertanya-tanya.
“Azzam, cinta susah ditebak ya? Terkadang dia muncul dengan sendirinya, terkadang juga dia akan pergi begitu saja tanpa sebab yang pasti”.
Waduh ada apa lagi nih. Pikiranku semakin kacau tidak karuan. Apa Azizah sedang jatuh cinta? Tapi dengan siapa Ya? Setahuku dia tidak begitu deat dengan laki-laki. Atau ini hanya bahan diskusi. Ah… semuanya akan terjawab kalau Azizah menyelesaikan pembicaraannya.
“Azzam… kamu tahu siapa pria itu yang membuatku jatuh cinta?”
“Siapa?”. Tanyaku penasaran.
“Dia adalah kamu Azzam!” Ucapnya jelas.
Duarrrr!!! Seperti petir di siang bolong. Pernyataannya membuatku terkejut setengah mati. Tidak kuduga keluar dari bibirnya kata-kata cinta. Wanita yang kuanggap tertutup dengan cinta, tetapi justru aku dengar sekarang. Wah… apa maksudnya nih!!!
“Aku ingin kelak kamu tetap di sampingku. Aku ingin kamu menjadi suamiku walau tidak dalam waktu dekat ini”.
“Azzam… kamu bersedia kan?” Pertanyaannya menyadarkan aku dari lamunan.
“Aku sudah mendapat izin dari orang tuaku.”.
“Kamu ini kenapa Zizah? Mengapa kamu mengeluarkan kata-kata ini?”. Tanyaku sedikit bingung.
“Azzam… Aku serius. Semua ini karena kamu yang telah mengajarkan ku”.
Aku benar-benar tak sadar dengan hal ini. Ternyata ada benih cinta yang tersemai selama pertemanan kami. Wallahu a’alam.
“Ya udah… aku akan beri kamu waktu sampai kamu benar-benar siap dengan jawabanmu…Ok!”
--o0o--
Hari-hari selanjutnya kulalui hanya memikirkan pertanyaan Azizah. Kebingungan menggelayutiku. Bingung harus berbuat apa. Tak berani aku menghubungi Azizah. Khawatir kalau Azizah menuntut jawabanku. Aku masih berpikir. Mengapa Azizah menyampaikan hal itu kepadaku. Tampang pas-pasan, belum punya pekerjaan tetap, apalagi soal cinta, aku paling tak paham.
Akhirnya kuputuskan untuk menghubungi orang tuaku. Mereka terkejut mendengar ceritaku. Namun, mereka hanya berpesan. “Nak, walau ibu belum tahu bagaimana dia, ibu harap dia yang terbaik buat dirimu. Ibu mengizinkan kamu untuk menikah. Tapi jangan salah langkah, itu bias fatal akibatnya. Semua keputusan kami serahkan kepadamu”. Hatiku sedikit tenang mendengar nasihat mereka.
Tiga minggu berlalu, selama itu pula aku tidak melihat Azizah di kampus. Sampai aku mendengar sebuah kabar yang sangat mengejutkanku. Azizah meninggal dunia.
“Innalillahi Wa Inna ilaihi roji’un”. Hatiku luluh dan bergegas melangkahkan kaki ke rumahnya.
Bunga duka cita berjejer, bendera merah berkibar, pelayat begitu ramai mendatangi rumahnya. Ku datangi ibu dan Ayah Azizah. Kesedihan mewarnai, Air mataku jatuh. Belum sempat aku menjawab permintaannya, Azizah terlebih dahulu dipanggil Sang Khalik. Ibunya bercerita kalau sejak terakhir aku main ke rumahnya, penyakit kanker otaknya kambuh.
Oh… alangkah payahnya diriku. Mengapa aku tidak pernah menghubungi Azizah sejak aku bertemu dengannnya. Sungguh penyesalan yang takkan pernah terbayar. Azizah tidak pernah cerita kalau dia mengidap penyakit mematikan itu. Di balik keceriaanya ternyata dia menyimpan penyakit yang kronis.
“Nak, ini ada titipan dari Azizah buatmu, dia memberikannya satu jam sebelum dia menghembuskan nafasnya yang teakhir”. Kulihat ibu tangisannya semakin menjadi.
Selepas fardhu kifayah, aku pulang ke kost dengan hati mendung seperti kondisi kota Medan yang selalui diwarnai hujan. Jalanku gontai. Penyesalan yang tiada henti. Di kamar aku buka titipan dari Azizah dengan ucapan bismillah.
Assalamu alaikum warahmatullahi wabarakatuh…
Azzamku…
Laa Tahzan…
Jangan bersedih atas kepergianku karena ini sudah menjadi rahasia Allah.
Jangan bersedih karena engkau tiada berada di sampingku saat aku dipanggil Alah.
Jangan bersedih karena engkau belum sempat menjawab permintaanku.
Jangan bersedih karena aku tidak pernah cerita tentang penyakitku ini.
Jangan bersedih Azzamku…
Azzamku…
Kamu masih ingat saat kita pertama kali bertemu di depan fakultas? Saat itu kamu meminjam penaku? Dasar kamu tak bermodal. Kamu tahu sejak saat itu aku tertarik padamu. Kata-katamu yang halus dan senyumanmu membuat aku teringat selalu.
Azzamku…
Kini aku terlebih dahulu pergi, aku harap engkau tidak berubah sedikitpun selepas kepergianku. Azzamku adalah Azzam yang pernah kukenal.
Azzamku…
Semoga kita bertemu di surga kelak… Amin.
Wassalamu alaikum warahmatullahi wabarakatuh…
Sahabatmu…
Azizah
Kembali menetes air mataku. Cintaku kini telah pergi. Entah sampai kapan aku menemukan sosok sepertinya lagi. “Ya… Allah terimalah dirinya di sisi Engkau yang mulia, ampunilah dosa-dosanya, perhitungkanlah segala amalan-amalannya. Ya Allah, pertemukannlah aku dengan dirinya di akhirat kelak. Amin”.
Selamat jalan cinta pertamaku….
Medan, Desember 2008
0 komentar :
Posting Komentar