Mohon maaf sebelumnya, saya harus
menuliskan ini karena kegelisahan-kegelisahan pribadi. Terutama, ketika
melihat postingan aktivis, kader, atau simpatisasn PKS di jejaring
sosial yang agaknya terlalu menjunjung tinggi PKS. Saya paham, sebagai
kader atau simpatisan, upaya untuk bangga dan membagus-baguskan PKS
adalah hal yang wajar, sah-sah saja, tapi akan menjadi berbeda ketika
dibalik upaya untuk membanggakan itu, ada suatu bentuk ‘menjatuhkan’
tokoh lain. terutama Jokowi dan PDIP yang akhir-akhir ini diserang
habis-habisan oleh PKS atau kader, atau simpatisannya.
Pertama,
Pada Bulan Januari dan Februari yang lalu, ketika Jakarta Banjir besar,
di media-media online seperti bersamadakwah.com, PKS Piyungan, dll. Ada
upaya agitatif dengan membuat opini jika “Jokowi gagal mengatasi banjir
Jakarta”. Awalnya, saya mengira biasa-biasa saja, yang namnya kritik ya
wajar-wajar saja. Tapi jadi tidak wajar ketika kemudian dimunculkan
sosok Aher (Ahmad Heriyawan) sebagai “penolong” Jokowi.
Secara
pribadi, sebagai bangsa Indonesia, kita tentu sangat senang melihat dua
pemimpin bersatu dan saling membantu. Tapi akan menjadi berbeda ketika
ada upaya mengangkat salah satu tokoh dan menjatuhkan tokoh yang lain.
Apalagi, Jokowi belum genap dua tahun memimpin Jakarta, tentu butuh
waktu untuk menyelesaikan banjir yang menjadi bencana tahunan itu.
sementara Aher, sudah lima tahun memimpin Jabar dan ini adalah periode
keduanya.
Kedua,
saya sangat menyesalkan kultwit Bang Fahri yang menyerang PDIP terutama
ketika Megawati menjadi Presiden. Pertanyaannya, kenapa tiba-tiba bang
Fahri melakukan hal itu ketika popularitas PDIP naik? Kenapa tidak dari
dulu-dulu saja? Apakah ada upaya menjatuhkan nama baik PDIP agar tidak
dipilih dalam pemilu? Entahlah, tapi menurut saya sangat tidak etis
mengungkap aib/dosa/kegagalan seseorang sementara periodenya sudah
berlalu. Sudah menjadi masa lalu. lalu apa yang diinginkan bang Fahri
dengan kultwit itu? ingin Megawati di hukum? Atau di hakimi rakyat agar
partainya tak dipilih? Entahlah. Saya semakin susah membedakan mana
Partai Islam dan mana yang tidak. sama saja. Sama-sama saling serang
menyerang, jatuh menjatuhkan.
Setelah
itu, kemudian muncul kultwit baru yang menyerang PKS. Konon itu dari
kader PDIP, jika sudah demikian. Maka semakin komplit lah. Antara satu
partai dengan partai yang lain saling serang. Duh, sebagai warga biasa.
Saya harus berbuat apa? Kalau setiap hari kita disuguhi oleh hal-hal
yang tidak penting seperti itu.
Harusnya
semua saling legowo. Tidak usah saling jatuh menjatuhkan. Kerja saja
yang baik, maka rakyat pasti akan menilai mana partai yang tulus dan
mana partai yang ingin tercitrakan baik. kebaikan tidak perlu
dicitrakan, karena kebaikan memiliki nilai tinggi di Mata Allah Swt,
bukankah Allah maha melihat dan maha segalanya? jika toh partainya di
serang habis-habisan, di jatuhkan habis-habisan, tapi kalau Allah
berkehendak dia menang pemilu. Ya siapa yang bisa melawan? Kun fayakun.
Ketiga,
tentang Partai terkorup. Ada banyak postingan di media tentang
rekapitulasi kasus korupsi. Disana disebutkan, PDIP berada di posisi
teratas dan PKS berada di posisi terbawah. Hanya saja, kasus korupsi PKS
sangat bombastis karena menimpa Presiden PKS. Dalam hati saya bersyukur
karena PKS –tergolong partai kanan/Islam—memiliki kasus korupsi
terendah. Kalau PDIP menjadi partai dengan rekapitulasi korupsi
tertinggi, hal itu masih bisa dimaklumi karena selaku partai besar,
dengan kursi yang banyak, kader yang banyak dan spirit nasionalis kiri
sebagai pijakannya. Mungkin saja.
Hanya
saja, banyak para simpatisan dan (mungkin) kader PKS yang terlalu
membanggakan hasil rekapitulasi tersebut. Alhamdulilah, kita patut
bersyukur. Meskipun kasus korupsi kuota impor daging sapi itu membekas
kuat di benak masyarakat. dan saya sangat menyayangkan, ketika ada upaya
menyerang PDIP kembali. Akhirnya data partai terkorup tersebut di
sebarluaskan dengan meninggikan PKS dan menjatuhkan PDIP? Kenapa? Tidak
perlu begitu lah, biar rakyat yang menilai.
Saya
sempat berdiskusi dengan teman saya yang simpatisan PKS itu dan bilang
“Alhamdulilah, kita syukuri saja karena PKS masih lumayan bersih
dibanding yang lain, tapi juga jangan menjatuhkan partai lain begitu.”
Dan dia menjawab “Ini harus di sharingkan ke masyarakat luas, biar
mereka tahu mana partai yang baik dan mana partai yang korup. Ini
menunjukkan jika PKS adalah partai paling baik.”
Saya
terdiam mendengar penjelasan tersebut. Ada upaya agar dirinya terlihat
lebih baik dari yang lain, dan ini adalah hal yang fatal menurut saya.
Lalu saya menjawab “Tidak perlu, rakyat pasti bisa menilai kok.
Lagipula, dengan menyebarkan data partai terkorup, apalagi dengan
merendahkan/menjatuhkan partai lain itu justru akan menjadi boomerang.
Biar saja itu mengalir, biar saja pihak ketiga yang memberitakan. Ente
pihak pertama, yaitu sebagai simpatisan PKS. Dan itu beresiko.” Tapi dia
tak menggubris kata-kata saya.
Maksud
saya, kalaupun PKS partai bersih, partai yang paling baik diantara
Partai yang lain, biarlah pihak ketiga yang memberitakan. Logika
sederhananya, jika saya telah berbuat kebaikan, maka akan sangat lucu
jika kemudian saya mengumbar kebaikan itu ke orang-orang “he, saya
barusan berbuat baik lho.” Tapi akan berbeda lagi jika yang bilang itu
orang lain.
Tanpa
PKS (Pengurus/kader/simpatisan) membagus-baguskan partainya sebagai
partai paling rendah kasus korupsinya, toh Metro tv, Tv-one, kompas,
jawa pos dan lain-lain juga sudah mengabarkan berita itu. media-media
itulah yang saya maksud orang ketiga. Itu saja sudah cukup. Kalau
kemudian PKS ikut-ikutan membagus-baguskan Partainya, justru itu akan
menimbulkan riak-riak di Masyarakat. Bahasa gaulnya membuat rakyat
“ilfil”. Kalaupun selama ini PKS sudah bekerja dengan sangat baik untuk
kemajuan bangsa, biarlah Allah yang menilai kebaikan itu dan kelak Allah
lah yang akan memberikan balasannya. Tidak perlu diunggul-unggulkan,
tidak perlu merasa paling bagus, apalagi dengan menjatuhkan rival/lawan
politiknya.
Padahal,
dahulu saya membayangkan jika di pileg 2014 ini PKS akan menduduki
posisi kedua dan berhasil mengusung Pak Hidayat Nur Wahid (politisi yang
saya kagumi) itu sebagai capres. Tapi ternyata menurut Quick Count
sementara, PKS berada di posisi ke-7. Jangankan untuk capres, cawapres
pun berat rasanya. Kenapa bisa demikian? Kenapa suara PKS yang dulu
lebih tinggi dari PKB dan PAN kini dibawah mereka? Entahlah.
Saya
pun berandai-andai : Andaikan PKS tidak menyebut dirinya Partai paling
bersih, andaikan PKS tidak terlalu reaksioner ketika LHI ditangkap,
andaikan PKS tak menyerang KPK, PDIP dan Jokowi, andaikan PKS tak
menyebut ini-itu konspirasi, adaikan kader/simpatisannya tak fanatik
seperti ini, andaikan PKS tak merasa paling baik sendiri. Mungkin…
mungkin.. kejadiannya tidak seperti ini.
Sama
dengan Partai Demokrat yang “babak belur” karena kadernya di geret KPK.
Bahkan jumlahnya tidak hanya satu, nominalnya bahkan jauh lebih
fantastis dari dugaan suap LHI. Ditambah internal partai yang goyah,
kritik bertubi-tubi pada SBY dan lain-lain. Permasalahan PKS tak
se-parah Demokrat. Tapi Partai Demokrat masih memiliki kepercayaan
tinggi dari masyarakat dengan menduduki peringkat ke-4. Kenapa?
Entahlah.
Saya
mengambil satu kesimpulan, dan mungkin juga saran untuk PKS. Bagi
pengurus/kader/simpatisan. Saya mohon maaf jika saran saya ini nantinya
menyinggung hati. Saya tidak bermaksud demikian. Menurut saya, fanatisme
kader/simpatisan PKS yang berlebihan tersebut terlampau over-reaktif.
Misalkan saja, ketika media “menyerbu” ramai-ramai Presiden PKS yang
diduga terlibat kasus suap daging impor. Ratusan hingga ribuan kader PKS
yang di pelopori oleh bang Fahri Hamzah justru menyerbu balik KPK
dengan sangat emosional.
Pemberitaan
LHI mungkin tidak akan membesar, tidak akan meledak seperti itu
andaikan kader/simpatisannya tidak over-reaktif yang menunjukkan
fanatisme besarnya ke publik. Ambil contoh saja kasus Andi Malarangeng
yang cenderung ‘sepi’ pemberitaan. Dikarenakan kader/simpatisan Partai
Demokrat tidak bersifat over-reaktif, bahkan mempersilahkan KPK. Untuk
kasus korupsi ini, terlihat betul kedewasaan berpolitik masing-masing
elite. SBY sebagai politisi kawakan tentu lebih paham situasi dan
bagaimana harus mengambil sikap, kendati Partainya diambang
kebangkrutan. Dan buktinya, elaktabilitas Demokrat justru masih diatas
PKS.
Yang
paling terlihat adalah sikap over-reaktifnya bang Fahri Hamzah. Kenapa
bang Fahri cenderung emosional seperti itu? padahal PKS punya tokoh yang
cerdas sekaliber Anis Matta, tokoh Ulama yang menyejukkan sekelas
Hidayat Nur Wahid, dan juga sosok gaul-modern semisal Pak Tifatul
Sembiring. Mohon maaf bang Fahri, bisa jadi suara PKS turun karena sikap
panjenengan yang emosional dan over-reaktif, dan itu akhirnya
memprovokasi kader/simpatisan di grassroot yang sangat cinta kepada PKS.
Sekali lagi mohon maaf, itu hanya pendapat dari saya.
Saya
tidak anti-PKS, justru sebaliknya, saya merasa sedih karena
pasca-Masyumi, tidak ada lagi Partai Islam yang tangguh dan dipercaya.
Harapan itu sempat muncul di Pemilu 2009, dimana PKS berhasil duduk di
posisi ke-4. Kala itu, saya sempat optimis jika akan muncul Partai Islam
yang kuat, dengan tokoh-tokoh inspiratif dan cerdas, yang memiliki
basis massa kuat beserta karakter idiologis yang mencolok. Jujur saja,
bagi saya PKS bisa menjadi neo-Ikhwanul Muslimin yang kelak bisa
mengajarkan Politik yang lebih damai, integratif dan inklusif. Apalagi
dengan indeks prestasi korupsi yang rendah. PKS bisa menjadi kiblat
politik Islam di dunia. Pada akhirnya, negara-negara Arab bisa belajar
dari Indonesia.
Saya
menyarankan agar ada rekonstruksi sikap. Sikap fanatik yang berlebihan
harus mulai dibuang, sikap merasa paling unggul dengan merendahkan rival
(semisal terhadap Jokowi dan PDIP) juga harus dibuang. Slogan Cinta,
Kerja dan Harmoni harus segera digalakkan. Biar saja banyak pihak yang
menyerang habis-habisan, toh, ukuran baik buruknya semua kembali kepada
Allah yang maha segalanya. Jika PKS yang dalam setiap gerakannya
menamakan gerakan Dakwah, namun masih over-reaktif terhadap pemberitaan
yang berbau fitnah, itu Paradoks namanya. Jika PKS yang merupakan
gerakan Dakwah, namun masih takut citranya jatuh karena pemberitaan
negatif media, maka harus segera membuat re-orientasi. Tujuan Dakwah
adalah untuk kehidupan Ukhrowi, bukan duniawi. Jika masih takut fitnah,
citra jatuh, dan lain-lain, maka itu masih duniawi.
Lima
tahun ke depan ini, semoga menjadi pelajaran berharga bagi
pengurus/kader/simpatisan PKS. Meskipun banyak yang berharap PKS akan
masuk 3 besar dan menjadi Partai Islam yang kuat (meskipun belakangan
memilih jalan sebagai Partai Nasionalis-Moderat). Dan di Pemilu 2014
ini, PKS tidak terdepak dari lima besar. Tapi kenyataannya memang
berbeda. PKS tengah berjuang untuk bangkit lagi. Harusnya PKS tidak
seperti itu. wallohu’alam