Dimana ulama kita? Dimana para
Ustad kita yang acapkali tampil di televisi? Atau memimpin jamaah yang
ribuan? Di mana orang yang mewakili umat Islam tanpa label Liberal dan
sekular di antara tumpukan masalah bangsa ini?
Saya merasa, kita umat Islam, seperti paria. Menjadi penonton di pusaran bangsa ini. Bicara korupsi, yang muncul wajah Romo berteriak anti korupsi. Bicara pendidikan, yang muncul wajah dari Universitas yang di cap kandang liberal. Bicara perhatian pada perempuan, yang muncul sosok perempuan yang kelewat syahwat ingin sama dengan lelaki. Bicara Ekonomi, yang muncul sosok dengan inovasi ribawi. Di mana tokoh-tokoh yang Islami? yang membawa panji Islam dalam pusaran bangsa ini? Yang menawarkan dahaga bagi umat yang terombang-ambing dalam solusi serba sekuler? Jangan salahkan umat yang sebagian besar masih awam, ketika butuh pemimpin, mereka akan menghantar yang sekular. Jangan salahkan umat, ketika butuh pendidikan, mereka akan lari pada yang bukan Islam. Jangan salahkan pula mereka, ketika butuh solusi akan berpaling pada si Sahal, si Ulil atau si Guntur Romli.
Apakah memang sudah suratan, umat Islam akan menjadi penggembira? Pemain yang hanya berenang-renang di tepian? Apakah memang cermin sejarah kita begitu buram? Berkacalah. Niscaya kita akan tersentak. Para pemimpin terdahulu kita membanijiri segala bidang. Di Perburuhan kita akan bertemu dengan sosok H. Fachrodin, atau Haji Agus Salim. Kiprah beliau membela buruh turut membawanya terbang ke Jenewa menghadiri kongres buruh sedunia. Atau sebut nama Tjokroaminoto ketika bicara anti kapitalisme. Jangan sungkan katakan Yunan Nasution ketika bicara tentang pers. Cetuskan nama Buya Hamka, saat bicara soal sastra, sejarah dan budaya. Ia pun turut meramaikan kongres kebudayaan pertama. Tak lupa ungkap Mr Kasman Singodmedjo saat bertemu hukum. Masih ada sederet nama lainnya.
Mereka jelas tokoh yang berjuang untuk Islam. Tapi juga bukan penonton di tepian. Mereka menceburkan diri dalam pusaran pergolakan. Untuk menentukan masa depan. Toh mereka bukan orang yang terbawa arus, terhanyut dalam kemaksiatan atau kemunkaran. Justru merekalah yang memutar pusaran arus hingga namanya turut tercatat dalam kemerdekaan dan pembangunan. Dan buahnya? Nama-nama pejuang Islam tak mungkin terpinggirkan ketika bicara soal amat penting, umpama saja soal penentuan dasar negara.
Tak pernah kita dengar Soekarno atau Moh Hatta meninggalkan Ki Bagus Hadikusumo untuk memutuskan perkara dasar negara. Sebaliknya, Soekarno sampai perlu memohon-mohon atas sikap kokoh beliau. Tak sudi Haji Agus Salim dipertanyakan pentingnya syariat Islam dalam mengisi kemerdekaan. Tak percaya? buka saja notulensi rapat BPUPKI. Tak ada yang mengutuk Kahar Muzakkir radikal, ketika ia sampai menggebrak meja sidang BPUPKI karena tidak puas dengan realisasi Islam dalam Undang-undang. Anda berani zaman sekarang menggebrak meja DPR meminta syariat Islam? Bisa saja, tapi tunggu besok pagi Koran Tempo menggelari anda fundamentalis. Tengok marahnya KH Wahid Hasyim ketika Soekarno lancang menyinggung soal syariat Islam. Saat ini? Kita bicara soal syariat, yang sewot Romo Benny!
Lantas jika cermin sejarah mengatakan bahwa pendahulu kita tak pernah lupa bergerak di segala bidang, mengapa kita saat ini hanya menjadi paria? Tersisih di perburuhan, tercampak dari perekomian, terpinggirkan dari pendidikan? Tertolak dari kebudayaan? Tersingkir dari sejarah?
Mengapa syahwat kita hanya berkerumun di tujuh huruf, yakni, POLITIK? Jambak menjambak, sikut menyikut sesama umat. Demi sebuah kolam lumpur bernama politik. Demi sebuah istana pasir bernama kekuasaan. Kita terjerembab dalam fanatisme partai, kelompok atau organisasi. Kritik organisasi berarti penistaan harga diri. Pasang jimat anti kritik hingga menjadi kebal diri. Lupa , kita ini mencoba membangun agama ilahi, bukan organisasi. Fanatisme sempit itu berujung pada kericuhan. Anda anti demokrasi? itu ilusi! Anda turut berdemokrasi, itu tak patut! Bahkan tak sudi kita menoleh jembatan solusi Theistic Democracy ala Natsir.
Dipolitiklah kita bersatu, namun untuk ricuh. Slogan kelompok terdengar riuh. Vonis terbang melayang disana-sini. Caci maki lari ke sana ke mari. Padahal kita paham, seribu ayat pun tak mampu menggoyahkan kedudukan masing-masing. Karena semua yakin dalilnya sendiri-sendiri. Kenapa kita masih saja terus menghantam, walau masing-masing sudah paham? Kenapa kita masih sudi mencaci saudara sendiri, walau masing-masing punya kontribusi? Kenapa kita tak berjabat saja, toh nasehat telah tersemat? Biar Allah yang menentukan di akhirat.
Kita, umat Islam punya semangat. Kita punya ayat. Kita hanya tak punya alat. Sebagian kawan mengucap, " kita tersisih karena media-media laknat." Saya pun setuju, tapi apa ikhtiar kita? Kita bisa mengutuk konglomerasi stasiun televisi. Tapi apa umat sudah punya stasiun televisi sendiri? Oh, tidak, kita terlalu sibuk mencaci dan ricuh sana-sini. Kita marah FPI dibiarkan sendiri. Muda-mudi lebih suka melihat si Lady (Gaga). Kita mengutuk! Tapi apakah kita sudah pernah mencoba memahami muda-mudi saat ini? Mencoba berkomunikasi dengan dunia mereka? Berbicara dengan bahasa mereka? Facebook? Twitter? Instagram? Social media? Digital media? Menelisik apa yang terjadi dengan mereka? Sudikah kita merangkul mereka yang tersunyi dari agama mereka sendiri? Sebagian kita lebih suka menyisihkan diri, bersembunyi dalam lingkungan privasi. Enggan membaur, merangkul. Kita lebih suka membuat garis demarkasi dengan saudara sendiri. Kita dengan ayat, mereka dengan pandangan hidup barat. Habis perkara!
Bila ini terus berjalan, alih-alih mengubur jurang perpecahan, kita sepertinya sedang menggali kubur sendiri. Berjabat tangan dengan keterpurukan. Tinggal menunggu saatnya nanti, kita tertimbun dalam reruntuhan kericuhan kita sendiri. Dan yang terkenang hanya nama Hamka, Wahid Hasyim, Agus Salim, Natsir hingga Masyumi. Sayup-sayup terdengar, itu pun dinyanyikan oleh si A, B atau C yang bergelar liberal dan sekular. Semoga Tidak! Mari bergandeng tangan.
Saya merasa, kita umat Islam, seperti paria. Menjadi penonton di pusaran bangsa ini. Bicara korupsi, yang muncul wajah Romo berteriak anti korupsi. Bicara pendidikan, yang muncul wajah dari Universitas yang di cap kandang liberal. Bicara perhatian pada perempuan, yang muncul sosok perempuan yang kelewat syahwat ingin sama dengan lelaki. Bicara Ekonomi, yang muncul sosok dengan inovasi ribawi. Di mana tokoh-tokoh yang Islami? yang membawa panji Islam dalam pusaran bangsa ini? Yang menawarkan dahaga bagi umat yang terombang-ambing dalam solusi serba sekuler? Jangan salahkan umat yang sebagian besar masih awam, ketika butuh pemimpin, mereka akan menghantar yang sekular. Jangan salahkan umat, ketika butuh pendidikan, mereka akan lari pada yang bukan Islam. Jangan salahkan pula mereka, ketika butuh solusi akan berpaling pada si Sahal, si Ulil atau si Guntur Romli.
Apakah memang sudah suratan, umat Islam akan menjadi penggembira? Pemain yang hanya berenang-renang di tepian? Apakah memang cermin sejarah kita begitu buram? Berkacalah. Niscaya kita akan tersentak. Para pemimpin terdahulu kita membanijiri segala bidang. Di Perburuhan kita akan bertemu dengan sosok H. Fachrodin, atau Haji Agus Salim. Kiprah beliau membela buruh turut membawanya terbang ke Jenewa menghadiri kongres buruh sedunia. Atau sebut nama Tjokroaminoto ketika bicara anti kapitalisme. Jangan sungkan katakan Yunan Nasution ketika bicara tentang pers. Cetuskan nama Buya Hamka, saat bicara soal sastra, sejarah dan budaya. Ia pun turut meramaikan kongres kebudayaan pertama. Tak lupa ungkap Mr Kasman Singodmedjo saat bertemu hukum. Masih ada sederet nama lainnya.
Mereka jelas tokoh yang berjuang untuk Islam. Tapi juga bukan penonton di tepian. Mereka menceburkan diri dalam pusaran pergolakan. Untuk menentukan masa depan. Toh mereka bukan orang yang terbawa arus, terhanyut dalam kemaksiatan atau kemunkaran. Justru merekalah yang memutar pusaran arus hingga namanya turut tercatat dalam kemerdekaan dan pembangunan. Dan buahnya? Nama-nama pejuang Islam tak mungkin terpinggirkan ketika bicara soal amat penting, umpama saja soal penentuan dasar negara.
Tak pernah kita dengar Soekarno atau Moh Hatta meninggalkan Ki Bagus Hadikusumo untuk memutuskan perkara dasar negara. Sebaliknya, Soekarno sampai perlu memohon-mohon atas sikap kokoh beliau. Tak sudi Haji Agus Salim dipertanyakan pentingnya syariat Islam dalam mengisi kemerdekaan. Tak percaya? buka saja notulensi rapat BPUPKI. Tak ada yang mengutuk Kahar Muzakkir radikal, ketika ia sampai menggebrak meja sidang BPUPKI karena tidak puas dengan realisasi Islam dalam Undang-undang. Anda berani zaman sekarang menggebrak meja DPR meminta syariat Islam? Bisa saja, tapi tunggu besok pagi Koran Tempo menggelari anda fundamentalis. Tengok marahnya KH Wahid Hasyim ketika Soekarno lancang menyinggung soal syariat Islam. Saat ini? Kita bicara soal syariat, yang sewot Romo Benny!
Lantas jika cermin sejarah mengatakan bahwa pendahulu kita tak pernah lupa bergerak di segala bidang, mengapa kita saat ini hanya menjadi paria? Tersisih di perburuhan, tercampak dari perekomian, terpinggirkan dari pendidikan? Tertolak dari kebudayaan? Tersingkir dari sejarah?
Mengapa syahwat kita hanya berkerumun di tujuh huruf, yakni, POLITIK? Jambak menjambak, sikut menyikut sesama umat. Demi sebuah kolam lumpur bernama politik. Demi sebuah istana pasir bernama kekuasaan. Kita terjerembab dalam fanatisme partai, kelompok atau organisasi. Kritik organisasi berarti penistaan harga diri. Pasang jimat anti kritik hingga menjadi kebal diri. Lupa , kita ini mencoba membangun agama ilahi, bukan organisasi. Fanatisme sempit itu berujung pada kericuhan. Anda anti demokrasi? itu ilusi! Anda turut berdemokrasi, itu tak patut! Bahkan tak sudi kita menoleh jembatan solusi Theistic Democracy ala Natsir.
Dipolitiklah kita bersatu, namun untuk ricuh. Slogan kelompok terdengar riuh. Vonis terbang melayang disana-sini. Caci maki lari ke sana ke mari. Padahal kita paham, seribu ayat pun tak mampu menggoyahkan kedudukan masing-masing. Karena semua yakin dalilnya sendiri-sendiri. Kenapa kita masih saja terus menghantam, walau masing-masing sudah paham? Kenapa kita masih sudi mencaci saudara sendiri, walau masing-masing punya kontribusi? Kenapa kita tak berjabat saja, toh nasehat telah tersemat? Biar Allah yang menentukan di akhirat.
Kita, umat Islam punya semangat. Kita punya ayat. Kita hanya tak punya alat. Sebagian kawan mengucap, " kita tersisih karena media-media laknat." Saya pun setuju, tapi apa ikhtiar kita? Kita bisa mengutuk konglomerasi stasiun televisi. Tapi apa umat sudah punya stasiun televisi sendiri? Oh, tidak, kita terlalu sibuk mencaci dan ricuh sana-sini. Kita marah FPI dibiarkan sendiri. Muda-mudi lebih suka melihat si Lady (Gaga). Kita mengutuk! Tapi apakah kita sudah pernah mencoba memahami muda-mudi saat ini? Mencoba berkomunikasi dengan dunia mereka? Berbicara dengan bahasa mereka? Facebook? Twitter? Instagram? Social media? Digital media? Menelisik apa yang terjadi dengan mereka? Sudikah kita merangkul mereka yang tersunyi dari agama mereka sendiri? Sebagian kita lebih suka menyisihkan diri, bersembunyi dalam lingkungan privasi. Enggan membaur, merangkul. Kita lebih suka membuat garis demarkasi dengan saudara sendiri. Kita dengan ayat, mereka dengan pandangan hidup barat. Habis perkara!
Bila ini terus berjalan, alih-alih mengubur jurang perpecahan, kita sepertinya sedang menggali kubur sendiri. Berjabat tangan dengan keterpurukan. Tinggal menunggu saatnya nanti, kita tertimbun dalam reruntuhan kericuhan kita sendiri. Dan yang terkenang hanya nama Hamka, Wahid Hasyim, Agus Salim, Natsir hingga Masyumi. Sayup-sayup terdengar, itu pun dinyanyikan oleh si A, B atau C yang bergelar liberal dan sekular. Semoga Tidak! Mari bergandeng tangan.